Tampilkan postingan dengan label lele. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label lele. Tampilkan semua postingan

Jumat, 21 Oktober 2016

produksi unggulan desa wonosari

Bicara produk unggulan ekonomi demak, tidak melulu berupa belimbing, atau jambu merah delima dan jambu citra nya. Produk perikanan baik laut maupun darat telah lama menjadi andalan kabupaten demak. Salah satunya adalah budidaya Ikan Lele.

Bila anda seorang pengusaha makanan, atau pengusaha suplayer ikan lele, adalah tepat bila anda melirik ke desa Wonosari. Berikut ini adalah laporan budidaya ikan lele di Desa Wonosari yang saya salin utuh dari koran harian Suara Medeka kolom Demak edisi Selasa 16 Juni 2009.



DESA Wonosari, Kecamatan Bonang berada sekitar 7,5 kilometer dari Demak kota. Saat memasuki desa tersebut, ada patung lele ukuran besar di perbatasan desa. Sebagian besar jalannya telah dibangun dengan konstruksi beton bertulang.

Di sisi kanan dan kiri jalan terlihat petak-petak kolam ikan lele. Rumah warga juga banyak yang dikelilingi kolam berbagai ukuran. Setiap pagi warga disibukan dengan pemberian makan pada ikan yang memiliki ciri khas berkumis tersebut. Begitu pakan ditebar, ribuan lele pun berebut. Pemandangan demikian cukup menarik dan menjadi hiburan yang tidak ada duanya bagi petambak.

’’Perasaan ikut senang, karena banyaknya ikan yang berebut. Jadi, lebih bersemangat memberi pakan. Selain itu, adanya perebutan berarti mereka kondisnya sehat,’’ kata H Jamal, seorang petambak.

Tak jarang ia mengajak anaknya untuk melihat ikan ketika sedang diberi makanan berupa konsentrat. Di desa berpenduduk 2.000 jiwa lebih itu, menurut Ketua kelompok pembudi daya lele Sari Mina, Heru Eko Catur, terdapat 500 warga yang menggantungkan hidup pada tambak lele. Mereka memiliki lahan seluas 30 hektare dengan 1.500 kolam berbagai ukuran.
Lele dijadikan pilihan, karena memiliki daya tahan tubuh yang lebih baik. Ikan ini bisa beradaptasi di air yang kondisinya keruh. Selain itu, permintaan pasar juga tidak pernah surut. Kebanyakan tengkulak datang sendiri dan mengirim ke warung-warung makan.

Catur menuturkan, pada tahun 1980-an, desanya tergolong daerah tertinggal. Selain perekonomian warga di bawah garis kemiskinan, sarana-prasarana desa tidak memadai. Kondisi semua ruas jalan rusak parah dan tidak ada akses komunikasi telepon. Hanya sebagian warga yang memiliki penerangan listrik.

Namun, pada tahun 1991 ia mencoba memanfaatkan lahan pekarangan yang tidak produktif untuk kolam. Tiga bulan melakukan perawatan dengan baik, ternyata hasilnya memuaskan. Hampir 98 bibit ikan yang dimasukkan bisa dipanen.

Dari tahun ke tahun, jumlah warga yang membudidayakan bertambah. Kini hampir sebagian besar mengandalkan penghasilan dari tambak air tawar. Setiap hari Desa Wonosari mampu memproduksi lele sebanyak tujuh 7 ton. Bahkan, belum lama ini menjadi desa petambak lele terbaik tingkat Jateng.

Tingkat kesejahteraan mereka makin bertambah seiring dengan langkah pengoptimalan lahan. Jika sebelumnya tanggul kolam dibiarkan ditumbuhi rumput, sekarang dipakai untuk tanaman jambu merah delima dan citra. Ternyata hasil dari tanaman jambu tidak kalah dengan hasil beternak lele.

’’Memang seperti berkah berlimpah, karena dalam satu lahan bisa menghasilkan dua kali pendapatan. Pengembangan jambu dan lele ini dikenal dengan istilah bule,’’ ujarnya.
Keripik dan Abon
Belakangan ini, inovasi terus dilakukan oleh warga sekitar. Jika biasanya hanya membudidayakan lele dan menjual ke tengkulak, mereka mengembangkan dengan usaha pascapanen. Seperti dengan membuat keripik lele, abon lele, dan lele panggang atau ikan asap.

Pengembangan usaha yang mulai diterapkan setelah mendapat bimbingan dan penyuluhan dari Dinas Kelautan dan Perikanan serta Dinas Perindustrian Perdagangan telah membuahkan hasil. Berbagai ikan siap konsumsi itu banyak diminati masyarakat.

Menurut Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Demak Ir Maryono MSi, pembudidayaan lele telah mengubah perekonomian Desa Wonosari. Perekonomian sebagian masyarakat mengalami peningkatan. Indikatornya antara lain perubahan mata pencaharian.

Sedikitnya ada 63 orang yang semula berprofesi sebagai petani dan buruh tani kini berubah menjadi pengusaha, kemudian 86 orang menjadi pedagang. Kepemilikan kendaraan bermotor termasuk mobil pada tahun 1990-an hanya sekitar 16 unit, kini menjadi 200 unit lebih. ’’Ada peningkatan SDM, karena setiap tahun 10 lebih warga meneruskan ke jenjang pendidikan S1,’’ paparnya.

Demikian juga warga yang menunaikan ibadah haji. Hampir setiap tahun sembilan orang berangkat ke Mekah untuk berhaji. (Hasan Hamid-37)